Menurut CDC (USA Centers for Disease Control and Prevention), kebanyakan orang yang meninggal akibat letusan gunung berapi adalah dalam keadaan mati lemas. Kondisi ini terjadi akibat udara yang mereka hirup tidak lagi memiliki cukup oksigen di dalamnya karena dipenuhi oleh abu vulkanik maupun gas-gas berbahaya.
Karena dampak gunung berapi yang sangat berbahaya ini, maka penting bagi para ilmuwan untuk bisa memprediksi secara akurat kapan gunung berapi akan meletus.
Dengan adanya keakuratan prediksi waktu erupsi (letusan), diharapkan orang-orang di sekitar gunung berapi dapat menerima informasi peringatan dini untuk dapat menghindar sebelum erupsi benar-benar terjadi.
Saat ini, para ahli vulkanologi memiliki berbagai alat yang dapat membantu mereka memperkirakan atau memprediksi kapan letusan gunung berapi akan terjadi.
Inilah cara para ilmuwan melakukannya!
Memprediksi Berdasarkan Seismologi
Salah satu cara ilmuwan dapat mengantisipasi secara dini sebuah letusan gunung berapi adalah dengan menggunakan pendekatan seismologi. Ahli yang mempelajari seismologi ini akan meneliti gempa bumi dan bagaimana gelombang energi bergerak melalui lapisan Bumi.Jika berkaitan dengan gunung berapi maka jenis seismologi yang dipelajari adalah seismologi vulkanik, yang nantinya akan menganalisis frekuensi dan kekuatan gempa terhadap aktivitas gunung berapi.
Perlu diketahui bahwa gunung berapi terbentuk ketika 2 lempeng tektonik yang berada di kerak bumi saling bertabrakan. Peristiwa tabrakan (tumbukan) ini akan menghasilkan gelombang seismik yang dapat dirasakan hingga di permukaan bumi atau biasa kita rasakan sebagai gempa bumi.
Seiring proses ini terjadi, magma dari mantel atas Bumi akan keluar dan mengalir keluar ke permukaan Bumi dan akan menghasikan letusan baik yang sifatnya explosif (ledakan besar) maupun efusif (rembesan/lelehan). Jadi kesimpulannya disini adalah gempa bumi merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pembentukan sebuah gunung berapi, hingga meletusnya gunung tersebut.
Gempa yang berhubungan dengan pergerakan magma dibawah permukaan bumi biasa disebut gempa vulkanik. Berdasarkan gempa vulkanik tersebut, para ahli vulkanologi menggunakan seismograf untuk mengukur kekuatan gempa yang terjadi.
Gambar seismograf yang sedang melakukan perekaman getaran vulkanik. |
Data gempa selanjutnya akan terkirim otomatis ke pusat pemantauan gunung berapi. Stasiun pusat pemantauan biasanya berada pada zona aman dari jangkauan letusan gunung berapi.
Di stasiun pemantauan inilah para peneliti akan melakukan analisa terhadap kekuatan, episentrum gempa, serta bagaimana model peningkatan getaran akibat pergerakan magma di bawah permukaan. Apakah getarannya mulai dari kecil lalu bergetar besar dalam hitungan menit, atau getarannya kuat tetapi hanya dalam beberapa detik.
Dengan menganalisis aktivitas seismik di bawah gunung berapi setiap saat maka para ilmuwan dapat melihat dan mempelajari pola aktivitas vulkanik di wilayah tersebut. Inilah mengapa ahli vulkanlogi memprediksi kapan letusan gunung berapi akan terjadi.
Memprediksi Berdasarkan Pergerakan Tanah
Tidak hanya gelombang seismik (gempa bumi) yang bisa dijadikan parameter sebuah gunung berapi akan meletus, tanah yang berada disekitarnya pun dapat menunjukan tanda aktivitas intens dari sebuah gunung berapi.Pergesaran tanah di gunung berapi aktif akan selalu terjadi. Hal ini diakibatkan ketika magma naik ke permukaan maka secara otomatis akan mendorong ke lapisan atas gunung berapi, yaitu lapisan tanah.
Para ilmuwan saat ini dapat melakukan pemetaan tanah secara tiga dimensi dengan menggunakan alat yang disebut tiltmeters untuk mengukur perubahan tanah karena adanya pergerakan (dorongan) magma dari bawah gunung berapi.
Dengan melakukan hal ini setiap saat, maka ahli vulkanologi dapat melihat dan mempelajari pola-pola aktivitas gunung berapi dan bisa memprediksi apakah akan terjadi erupsi ataukah belum.
Menganalisa Komposisi Gas di Atmosfer
Selain menggunakan seismologi dan memantau pergerakan tanah di sekitar gunung berapi, para ilmuwan juga mempelajari atmosfer untuk dapat memprediksi letusan.Dengan menggunakan informasi yang dikumpulkan oleh EOS (Earth Observing System) yang pertama kali diluncurkan pada tahun 1999, mereka dapat meneliti komposisi gas di atmosfer bumi tepat di atas gunung berapi. Hal ini sangat membantu mereka mempelajari pola letusan sebelumnya.
Dengan cara ini ilmuwan dapat melihat konsentrasi karbon dioksida dan sulfur dioksida di udara untuk memprediksi banyaknya gas-gas berbahaya yang akan dikeluarkan saat letusan berlangsung.
Di masa lalu, pengukuran konsentrasi gas gunung berapi dilakukan secara manual dengan cara menempatkan gelas pemantauan yang diisi dengan kalium hidroksida di dekat pusat gunung berapi, dan ini sebenarnya tindakan yang beresiko terhadap keselamatan para ilmuwan.
Untuk era modern saat ini mereka akan lebih aman bekerja dengan perangkat elektronik yang secara otomatis mengirimkan data udara di sekitar gunung berapi ke stasiun pemantauan, seperti halnya seismograf dan tiltmeters. Selain itu mereka biasa juga menggunakan teleskop inframerah untuk melihat penyebaran gas di udara.
Jadi apakah gunung berapi dapat diprediksi akan meletus? Jawabannya Ya, ahli vulkanologi dapat memprediksi kapan akan terjadi erupsi. Akan tetapi menurut mereka, yang saat ini masih sulit dilakukan adalah memprediksi seberapa besar ledakan yang akan terjadi ketika gunung tersebut meletus.
Apakah kekuatan erupsi bisa seperti Mt. Pinatubo's pada tahun 1991, ataukah mungkin hanya tetesan lava atau abu yang tidak berbahaya, inilah yang sangat sulit diprediksi oleh para ahli.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, diharapkan para ilmuwan mampu memprediksi lebih akurat lagi, baik waktu terjadinya letusan maupun kekuatan letusan sebuah gunung berapi.