Konsep Batubara Sebagai Pembentuk Hidrokarbon

Batubara merupakan batuan sedimen yang didominasi oleh material organik. Hidrokarbon berupa minyak atau gas dapat terbentuk selama proses pembatubaraan dan berasal dari material organik yang mengalami perubahan karena mendapat pengaruh biokimia maupun geokimia. Secara umum, proses pembatubaraan lebih cenderung menghasilkan gas daripada minyak (Levine, 1993).

Material organik dalam batubara disebut maseral. Berdasarkan asal dan karakteristiknya, maseral dikelompokan ke dalam 3 grup utama yaitu vitrinit, liptinit, dan inertinit (lihat tabel di bawah). Berbagai tipe maseral memiliki karakteristik yang berbeda dalam menghasilkan, menyimpan, dan juga mengalirkan hidrokarbon (Pashin, 2008).

jenis maseral dalam batubara
Tabel jenis maseral dalam batubara dan asal material organik pembentuknya (dikompilasi dari ICCP 1998 dan Flores, 2013)

Grup maseral utama dapat dianalogikan kedalam kerogen yaitu material organik yang merupakan cikal bakal hidrokarbon (Pashin, 2014). Berdasarkan komposisi kimia dan proporsi karbon, hidrogen, dan oksigen, maseral batubara dan kerogen dikelompokan menjadi 4 tipe (Krevelen, 1993); Tissot & Welte, 1978) (lihat gambar).

diagram van krevelen
Gambar diagram Van Krevelen, memperlihatkan tipe kerogen dan maseral pembentuknya dalam hubungannya dengan rasio atom H/C dan O/C (dimodifikasi dari Krevelen, 1993 dan Tissot & Welte, 1978).

Kerogen Tipe I kaya akan hidrogen dan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menghasilkan minyak. Alginit yang termasuk kelompok maseral liptinit dan terbentuk dari alga merupakan ciri khas maseral tipe I. Kerogen tipe II memiliki rasio hidrogen-karbon yang lebih rendah dari tipe I. Hampir seluruh maseral dari grup liptinit masuk ke dalam kerogen tipe II. Tipe II kerogen juga memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menghasilkan minyak walaupun tidak sebanyak tipe I.

Kerogen Tipe III tersusun dari maseral vitrinit. Tipe III memiliki rasio hidrogen-karbon yang lebih rendah dan rasio oksigen-karbon yang lebih besar dibandingkan dengan tipe I. Pada kerogen tipe III, rasio oksigen-karbon pada umumnya menurun dengan meningkatnya rank batubara dari lignit ke antrasit. Kerogen tipe III didominasi oleh maseral vitrinit yang memiliki kecenderungan untuk menghasilkan gas dan juga memiliki kapasitas simpan gas yang besar (Mastalerz, drr., 2004). Oleh karena itu, kerogen tipe III juga memiliki kecenderungan untuk menghasilkan gas daripada minyak.

Maseral intertinit merupakan maseral penyusun Kerogen Tipe IV. Tipe ini memiliki rasio hidrogen-karbon dan oksigen-karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan ketiga tipe kerogen lainnya. Kerogen tipe IV memiliki porositas dan juga internal surface are dengan kemampuan menyimpan volume gas dalam jumlah yang signifikan (Crosdale, drr., 1998).

Penelitian menunjukkan bahwa berbagai jenis maseral memiliki energi aktivasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, maseral resinit dan suberinit dari grup liptinit memiliki energi aktivasi yang paling rendah (167 kj/mol), sedangkan alginit yang paling tinggi (280 kj/mol) (Lu, 1996; Lu, drr., 1997). Energi aktivasi yang rendah menyebabkan maseral resinit dan suberinit dapat membentuk hidrokarbon berupa minyak immature pada fase awal proses pembatubaraan sedangkan maseral lainnya baru bisa menghasilkan hidrokarbon pada tingkat pembatubaraan yang lebih tinggi.

Secara umum batubara memiliki energi aktivasi yang rendah, rata-rata kurang dari 380 kj/mol. Rendahnya energi aktivasi tersebut menunjukkan bahwa pembentukan hidrokarbon pada batubara berlangsung pada suhu rendah (Lu, 1996; Lu, drr., 1997). Secara genesa, batubara terbagi menjadi batubara humic dan batubara sapropelic. Batubara humic terbentuk dari tumbuhan-tumbuhan tinggi sedangkan batubara sapropelic berasal dari residu tumbuhan-tumbuhan rendah seperti alga.

Batubara humic merupakan batubara yang paling banyak terdapat di dunia. Jenis batubara ini sebagian besar terbentuk dari tumbuhan darat yang ditopang oleh struktur kayu lignoselulosa. Dalam kondisi reduksi lemah, lignoselulosa akan membentuk maseral vitrinit sedangkan jika teroksidasi akan membentuk maseral inertinit (Zou, 2013).

Beberapa komponen stabil dari tumbuhan tinggi seperti spora, kutin, dan resin terbentuk dari protein yang kaya akan hidrogen. Komponen tersebut membentuk maseral liptinit, sehingga maseral liptinit juga memiliki sifat stabil (Zou, 2013). Maseral vitrinit, inertinit, dan liptinit dalam proporsi yang berbeda-beda bergabung membentuk batubara humic.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, maseral liptinit memiliki kecenderungan lebih mudah untuk membentuk minyak (oil prone) daripada gas (gas prone). Dengan kata lain batubara sapropelic dengan kandungan maseral liptinit yang tinggi (Kerogen Tipe II dan III) dapat membentuk minyak. Sedangkan batubara humic dengan kandungan maseral vitrinit dan inertinit yang tinggi lebih cenderung membentuk Kerogen Tipe III yang lebih mudah untuk membentuk gas daripada minyak. Penjelasan lebih lengkap tentang potensi batubara dalam menghasilkan hidrokarbon dapat ditemukan pada tulisan Levine (1997).
Komentar