Radiolaria, Si Kecil Penyebab Masalah Besar Pada Tektonik Bantimala

Radiolaria merupakan plankton atau makhluk renik (bisa binatang, bisa juga tumbuhan) yang hidup di air. Radiolaria adalah plankton yang disebut immotile atau tidak bisa bergerak sendiri, mereka berpindah kesana-kemari tergantung arus air yang membawanya. Radiolaria umumnya berukuran antara 50-100 µm (kisaran sehelai rambut manusia) dan diketahui sudah menjelajah lautan sejak 530 juta tahun yang lalu (zaman Kambrium).

Akibat rentang waktu yang sangat lama tersebut, radiolaria telah berevolusi dengan berbagai penampilan yang mengagumkan. Dengan menumpang di lantai samudera, radiolaria mengarungi belahan Bumi hingga terdampar di tepian benua.

Fosil radiolaria dikenal sebagai penunjuk untuk mengenali lingkungan pengendapan laut dalam. Hal tersebut bukan berarti radiolaria hidup di laut dalam, tetapi cangkang radiolaria yang telah mati jatuh sampai ke dasar samudera.

Sesuai dengan judul postingan diatas, anda mungkin akan bertanya apa hubungannya radiolaria dengan tektonik bantimala?? dan mengapa sampai radiolaria yang notabennya sebagai makhluk renik mampu membawa perdebatan sengit dikalangan para ahli geologi tentang tektonik bantimala??. Jawabannya hanya 1, Radiolaria yang merupakan penyusun utama batuan rijang di bantimala (Rijang Radiolaria Bantimala) mengaburkan doktrin model stratigrafi lempeng samudera yang selama ini dianut oleh pakar-pakar geologi diseluruh dunia.

Mengacu kepada teori tektonik lempeng seharusnya rijang radiolaria menumpang di atas lava bantal, atau jika lava bantalnya tidak tersingkap, maka rijang ini biasanya menumpang di atas batuan ofiolit yang lain (seperti peridotit, gabro, atau diabas). Mengapa bisa begitu?, karena begitulah susunan batuan lempeng samudera, dibagian atas akan ada rijang radiolaria, yang biasanya berteman dengan batuan endapan laut dalam (seperti serpih silikaan atau batugamping merah), yang duduk di atas kerak dan mantel bagian atas di bawah samudera.

Kerak dan mantel bagian atas mempunyai susunan berturut-turut dari atas ke bawah adalah sebagai berikut: lava basal membantal, retas intrusif diabas/dolerit, gabro berlapis, gabro kumulatif, dan paling bawah peridotit. Susunan seperti inilah yang biasa disebut dengan OPS (Oceanic Plate Stratigraphy). Susunan OPS tentu saja tidak harus selengkap itu, tetapi pastinya urutan stratigrafinya dibagian atas seharusnya dihuni oleh rijang radiolaria dan paling bawah dihuni oleh peridotit.

Lalu bagaimana dengan di Bantimala?, kita ketahui bersama bahwa stratigrafi bantimala disusun atas batuan-batuan yang berturut-turut umurnya adalah sebagai berikut: batu pasir Jurassic Paremba, peridotit terserpentinisasi, ekologit dan sekis biru, breksi sekis, rijang radiolaria yang berselingan dengan batu pasir asal benua. Jadi disini tidak ditemukan rijang radiolaria masif yang duduk di atas lava bantal.

rijang radiolaria bantimala
Radiolaria dan fitur tektonik Bantimala.
Di Bantimala, rijang radiolaria terlihat berselingan dengan batupasir asal tepi benua, dan di dalam batupasir tersebut terdapat pula rombakan-rombakan batuan metamorf (khususnya sekis mika). Bagaimana mungkin rijang yang lingkungan pengendapannya di laut dalam bisa terbentuk secara berlapis-lapis dengan perselingan batupasir yang relatif berbutir kasar (penciri lingkungan laut menengah-dangkal)??. Melalui tulisan ini Geologinesia mencoba memberikan opini yang dirangkum dari berbagai sumber, benar atau tidaknya tergantung anda yang menilainya. Diharapkan dengan lebih banyaknya penemuan fitur tektonik yang tersingkap di Bantimala akan lebih memberikan titik terang. Mari kita mulai !!.

Menurut teori tektonik lempeng, lempeng benua dan lempeng samudera adalah kulit-kulit Bumi yang bersifat mobile, saling bergerak relatif satu terhadap yang lain. Lempeng samudera berperan layaknya "conveyor" yang membawa rijang di atasnya dan bergerak menuju benua. Dalam perjalannya, biasanya ada penumpang baru yaitu partikel yang membentuk lapisan batulumpur (mudstone).

Kehadiran batulumpur di atas lapisan rijang sebagai pertanda sesaat lagi mereka akan sampai di tepi benua. Di atas batulumpur biasanya hinggap lapisan batupasir yang bahan-bahannya berasal dari tepi benua. Akan tetapi, ketika terjadi pertemuan lempeng samudera dan lempeng benua akan menyebabkan terjadi kekacauan karena menghasilkan dua kelompok batuan, yaitu batuan dari lempeng samudera dan lempeng benua yang saling mendorong dan berebut untuk saling bersentuhan. Akibat perebutan tersebut terjadilah campur-aduk berbagai macam batuan sehingga terbentuklah apa yang dinamakan batuan bancuh (mélange) yang membingungkan kita, batuan mana berasal dari mana dan dari zaman yang mana.

Tidak ditemukannya rijang radiolaria masif di Bantimala yang duduk diatas lava bantal ataupun batuan kerak samudera mengindikasikan bahwa rijang yang ada di bantimala bukan merupakan rijang yang harusnya berada pada seri OPS, tetapi terbentuk sesudah terjadinya pertemuan antara lempeng samudera dan benua tadi. Hal ini dibuktikan dengan adanya batupasir Jurassic Paremba yang sudah bukan merupakan batuan pembentuk kerak samudera tetapi bisa berada di lapisan paling bawah pada tatanan stratigrafi Bantimala.

Ditemukannya batuan peridotit dan batuan metamorf (eklogit dan sekis biru) dengan protolith asal kerak samudera diatas batupasir Jurassic Paremba tersebut sebenarnya hanya mengindikasikan ciri kompleks batuan bancuh. Ini berarti bahwa ada 1 (satu) peristiwa tektonik lagi yang mengalih tempatkan batuan bancuh hingga bisa berada diatas batupasir Jurassic Paremba. Pengalih tempatan ini kemungkinan besar hingga ke bagian atas tepian benua yang ditendai dengan adanya perselingan rijang radiolaria dengan batupasir yang berbutir kasar.

Batu pasir yang relatif berbutir kasar mengindikasikan lingkungan yang relatif menengah-dangkal. Pertanyaan lain yang akan muncul adalah bagaimana bisa radiolaria yang merupakan penunjuk lingkungan laut dalam dapat berada di laut menengah-dangkal?, bagaimana dengan teori Carbonate Compensation Depth (CCD) yang menyebutkan bahwa pada kedalaman antara 3000 hingga 4000 m terjadi laju pelarutan partikel bahan karbonat yang lebih cepat daripada laju pengendapannya??.

CCD menjelaskann bahwa laju pelarutan karbonat akan lebih tinggi di laut dalam dibanding di laut dangkal karena tingkat tingkat konsentrasi CO2 di laut dalam jauh lebih besar. Kita ketahui bahwa CO2 mampu mengurai karbonat yang merupakan penyusun tubuh dari radiolaria. Jadi adakah kemungkinan terjadinya peningkatan konsentrasi CO2 di lingkungan laut bantimala (baik di laut dalam-dangkal) pada masa setelah pengalihtempatan batuan bancuh??. Disinilah tantangan para ahli untuk membuktikannya. Akhir kata, selamat kepada Radiolaria, si kecil yang membuat masalah besar. Salam.

Referensi: 1) Tulisan Awang H. Satyana (2014) "Rijang Radiolaria Bantimala", 2) Tulisan Munasri (Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI) "Plankton Radiolaria", 3) tatanan Tektonik Bantimala dari berbagai sumber.
Komentar